Istilah
Bonek, akronim bahasa Jawa dari Bondho Nekat (modal nekat), biasanya ditujukan
kepada sekelompok pendukung atau suporter kesebelasan Persebaya Surabaya,
walaupun ada nama kelompok resmi pendukung kesebelasan ini yaitu Yayasan
Suporter Surabaya (YSS). Di persepak bolaan Indonesia, bonek banyak digambarkan
sebagai pendukung yang sering membuat kerusuhan, dari mulai tidak membayar
tiket kereta api, sampai bentrok dengan aparat keamanan dan pendukung
kesebelasan lawan.
Secara
tradisional, Bonek memiliki lawan-lawan, sebagaimana layaknya suporter di luar
negeri. Saat era perserikatan, lawan tradisional Bonek adalah suporter PSIS
Semarang dan Bobotoh Bandung. Di era Liga Indonesia, lawan tradisional itu
adalah Aremania Malang, The Jak suporter Persija, dan Macz Man fans PSM
Makassar. Di era Ligina, Bonek justru bisa berdamai dengan Bobotoh Persib
Bandung dan Suporter PSIS Semarang.
Beberapa
peristiwa kekacauan yang disebabkan “Bonek mania” antara lain adalah kerusuhan
pada pertandingan Copa Dji Sam Soe antara Persebaya Surabaya melawan Arema
Malang pada 4 September 2006 di Stadion 10 November, Tambaksari, Surabaya.
Selain menghancurkan kaca-kaca di dalam stadion, para pendukung Persebaya ini
juga membakar sejumlah mobil yang berada di luar stadion antara lain mobil
stasiun televisi milik ANTV, mobil milik Telkom, sebuah mobil milik TNI
Angkatan Laut, sebuah ambulans dan sebuah mobil umum. Sementara puluhan mobil
lainnya rusak berat. Atas kejadian ini Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman
(sebelum banding) dilarang bertanding di Jawa Timur selama setahun kepada
Persebaya, kemudian larangan memasuki stadion manapun di seluruh Indonesia
kepada para bonek selama tiga tahun.
Sekitar
Agustus 2006, bonek dijatuhi sanksi lima kali tidak boleh mendampingi timnya
saat pertandingan away menyusul ulah mereka yang memasuki lapangan pertandingan
sewaktu Persebaya menghadapi Persis Solo di final divisi satu. Ironisnya, tahun
2005, Persebaya justru rela dihukum terdegradasi ke divisi satu gara-gara
mundur di babak 8 besar. Pihak klub beralasan untuk melindungi bonek agar tidak
disakiti.
Namun
tidak selalu Bonek bertindak anarkis ketika kesebelasan Persebaya kalah. Tahun
1995, saat Ligina II, Persebaya dikalahkan Putra Samarinda 0 – 3 di Gelora 10
November. Tapi tidak ada amuk Bonek sama sekali. Para Bonek hanya mengeluarkan
yel-yel umpatan yang menginginkan pelatih Persebaya mundur.
Saat
masih di Divisi I, Persebaya pernah ditekuk PSIM 1 – 2 di kandang sendiri. Saat
itu juga tidak ada aksi kerusuhan. Padahal, jika menengok fakta sejarah,
hubungan suporter Persebaya dengan PSIM sempat buruk, menyusul meninggalnya
salah satu suporter Persebaya dalam kerusuhan di kala perserikatan dulu.
Beberapa
kritik mengatakan citra buruk Bonek lebih banyak dibentuk oleh opini
masyarakat. Hal ini dikarenakan karena setiap bonek pasti tidak membeli tiket
masuk pertandingan dan selalu menjarah dagangan orang berjualan. Dan hal inilah
yang membuat bonek lebih terlihat seperti penyakit yang sangat menakutkan yang
harus dihindari.